ASEAN Economy Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan diberlakukan pada akhir Desember 2015 mendatang. Babak baru perdagangan antarnegara-negara di kawasan ASEAN akan membuka tantangan dan peluang bagi para pelaku pasar dan jasa. Namun sosialisasi dan informasi tentang MEA di tanah air masih sangat terbatas. Tidak banyak masyarakat Indonesia yang mendapat informasi tentang MEA, bahkan masih ada kalangan akademisi yang belum tau informasi MEA yang notabene punya akses informasi yang lebih cepat dibanding masyarakat awam. Apa sesungguhnya MEA dan apa implikasi yang akan dihadapi oleh masyarakat di kawasan ASEAN dengan akan diberlakukannya MEA ini?
MEA adalah suatu program kerja sama antar Negara-negara ASEAN yang dideklarasikan pada 2013 di Bali oleh sejumlah petinggi Negara-negara ASEAN. Kemudian deklarasi ini kembali ditegaskan pada 2007 di Filipina. Kerja sama MEA meliputi bidang perekonomian, politik dan keamanan, serta sosial budaya. Dalam naskah blueprint MEA disebutkan ada empat karakteristik bentuk kerja sama, yaitu: ASEAN single market, ekonomi regional yang kompetitif, kesetaraan pertumbuhan ekonomi, dan integritas ekonomi global. Tulisan ini lebih fokus pada karakteristik yang pertama yaitu single market dimana dampaknya akan menyentuh langsung kepada satu penyedia jasa layanan kesehatan yaitu perawat.
Kualifikasi dan kempetensi
Satu komponen dari ASEAN single market adalah free flow of skilled labour. Kerja sama ini akan membuka peluang kerja bagi tenaga profesi seperti tenaga pendidik, dokter, perawat serta tenaga ahli lainnya untuk bekerja di negara ASEAN pilihannya sesuai dengan standar masing-masing profesi. Di samping itu dalam komponen ini, akan ada rumusan bersama tentang kualifikasi dan kompetensi tenaga profesi yang disebut dengan Mutual Recognition Arrangement (MRA). Sehingga diharapkan adanya kesetaraan kompetensi tenaga profesi di kawasan Asia Tenggara, di antaranya adalah kualifikasi dan kompetensi perawat.
Muncul pertanyaan dalam benak kita bersama, persiapan apa yang telah dilakukan Stakeholder Keperawatan Indonesia menghadapi MEA akhir tahun 2015 ini? Mampukah perawat Indonesia berkompetisi dengan perawat dari Negara ASEAN lain? Dapatkah perawat Indonesia memanfaatkan tantangan ini sebagai peluang menambah lapangan kerja? Ataukah ini akan menjadi ancaman bagi profesi perawat di Indonesia? Dalam menjawab tantangan di atas, ada beberapa isu krusial yang perlu kita kaji terkait persiapan tenaga perawat Indonesia menghadapi MEA.
Setelah hampir 12 tahun dideklarasikan di Bali pada 7 Oktober 2003, informasi tentang MEA masih sangat minim diketahui oleh Tenaga Kesehatan Indonesia. Dari hasil pengamatan juga wawancara saya baik langsung maupun di media sosial seperti facebook, tidak banyak perawat di Aceh yang mengetahui tentang MEA. Informasi MEA juga masih sangat minim di kalangan mahasiswa keperawatan. Sebagai perbandingan, Thailand sangat gencar menyosialisasikan tentang MEA kepada masyarakatnya.
Sebagai contoh, beberapa waktu lalu saya mengikuti sebuah talk show di Bangkok yang bertema ASEAN Talk. Dalam talk show tersebut pembicara membahas tentang bagaimana persiapan Thailand menghadapi MEA. Dari segi sosialisasi Thailand baik untuk masyarakat awam maupun kalangan akademisi sudah cukup baik. Informasi tentang MEA disosialisasikan dari level universitas sampai sekolah dasar (SD). Sehingga tidak heran jika kita bertanya kepada anak SD di Thailand, mereka mengetahui apa itu MEA.
Dari 10 Negara anggota ASEAN, masing-masing Negara memiliki kurikulum dan sistem pendidikan keperawatan yang berbeda. Hal ini berimplikasi kepada sulitnya menentukan standar terendah pendidikan keperawatan mana yang akan menjadi acuan sebagai MRA. Sebagai contoh, pendidikan keperawatan terendah di Thailand dan Filipina adalah Bachelor of Nursing Science (BSN), kemudian berlanjut ke level Master dan Doktoral. Indonesia, Brunei Darussalam, Singapora dan Malaysia pendidikan keperawatan terendah adalah Diploma Keperawatan. Sedangkan Vietnam dan Myanmar pendidikan keperawatan terendah adalah secondary level program 2 tahun.
Di samping itu sistem registrasi antarnegara ASEAN juga berbeda-beda. Sebagai contoh, Filipina dan Thailand merujuk kepada Barat yaitu sistem Registered Nurse (RN). Sedangkan Indonesia memakai sistem Surat Tanda Registrasi (STR). Dalam definisi MRA terkandung makna secara jelas bahwa perawat yang dimaksud adalah seseorang yang memiliki keahlian di bidang jasa keperawatan yang didapat secara formal dan secara administratif telah mendapat pengakuan dan lisensi dari otoritas yang ditunjuk oleh negaranya masing-masing. Melalui MRA diharapkan akan tersedia tenaga perawat yang kompetitif.
Kendala klasik
Kemampuan bahasa Inggris merupakan satu kendala klasik perawat Indonesia ketika ingin melanjutkan studi atau bekerja ke luar negeri. Kemampuan bahasa Inggris perawat Indonesia dinilai jauh ketinggalan dengan perawat dari Negara lain seperti Filipina. Menurut data Global Nation, sebagian besar perawat dari Asia yang bekerja di Amerika dan Eropa berasal dari Filipina. Sebanyak 20% Registered Nurse di California adalah perawat-perawat dari Filipina. Perawat dari Filipina lebih dilirik oleh user AS dan Eropa karena kemampuan bahasa Inggris mereka yang baik, juga skill yang bagus. Untuk itu perbekalan bahasa Inggris yang mumpuni sangat diperlukan bagi perawat Indonesia dalam menghadapi MEA.
Ketika MEA diberlakukan, interaksi berbagai budaya, agama, juga etnis akan terjadi sehingga perawatan unikultural menjadi tidak relevan lagi. Konsep keperawatan transkultural menjadi solusi perawatan pasien. Keperawatan transkultural dicetuskan oleh Leininger dalam rangka menghormati agama, juga mengenali kultur pasien ketika memberikan asuhan keperawatan.
Sepuluh Negara ASEAN memiliki latar belakang agama yang beragam. Indonesia, Malaysia dan Brunei dengan latar belakang Muslim. Thailand, Laos, Vietnam, Myanmar dan Kamboja adalah Buddha. Sedangkan kebanyakan rakyat Filipina adalah Katolik. Keberagaman ini dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi perawat ketika saat memberikan perawatan kepada pasien apabila tidak mengerti kepercayaan dan keyakinan pasiennya. Oleh karena itu, perlu ditetapkan kompetensi keperawatan trans kultural bagi perawat Indonesia dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi era multi-etnik MEA 2015.
Kita mungkin tidak akan melihat perubahan secara drastis saat MEA diberlakukan akhir 2015 ini, kita juga mungkin belum akan melihat mobilitas perawatan antar Negara ASEAN pada akhir 2015 ini, akan tetapi pertukaran informasi dan pengetahuan di antara 10 negara-negara ASEAN akan terjadi. Oleh karena itu, sebagai satu profesi yang termasuk ke dalam MRA, para perawat hendaknya mempersiapkan diri semaksimal mungkin menghadapi MEA yang akan diberlakukan akhir 2015 ini. Semoga!
Zamna Idyan, Mahasiswa Master of Nursing Science Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand/Mahasiswa tugas belajar Aceh Utara, penerima Beasiswa ASEAN Scholarship 2014. Email: alzamna2012@gmail.com
Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2015/06/03/mea-dalam-perspektif-keperawatan
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus